Sirup Menurut Farmakope Indonesia III, Sirup adalah sediaan cair berupa larutan yang mengandung sakarosa. Pada sirup dengan kadar gula yang rendah dapat terjadi fermentasi, kadar gula yang tinggi mempunyai tekanan osmotik yang cukup tinngi sehingga pertumbuhan bakteri dan fungi dapat terhambat. Bila sebagian dari Saccharosa berubah menjadi gula invert, maka sirup cepat menjadi rusak, kerusakan sirup dapat dihindarkan dengan menambahkan suatu bahan pengawet kedalam sirup, misalnya nipagi dan nipasol, atau natrium benzoat (Joenoes, 1990). Kadar sakarosa (C12 H22 O11) tidak kurang dari 64% dan tidak lebih dari 66%. Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain dalam kadar tinggi (Anonim, 1995). Secara umum sirup merupakan larutan pekat dari gula yang ditambah obat atau zat pewangi dan merupakan larutan jernih berasa manis. Sirup adalah sediaan cair kental yang minimal mengandung 50% sakarosa (Ansel et al., 2005). Sirup juga adalah sediaan cairan kental untuk pemakaian dalam, yang minimal mengandung 90% sakarosa (Voigt, 1984). Sirup merupakan alat yang sangat menyenangkan untuk pemberian suatu bentuk cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak. Sirup-sirup terutama sfektif dalam pemberian obat untuk anak-anak untuk meminum obat. Kenyataan bahwa sirup-sirup mengandung sedikit alkohol atau tidak, menambah kesenangan siantara orang tua (Ansel,1989). 1. Sejarah & Pengertian Sirup Sirup telah dikenal sebagai bentuk sediaan obat sejak masa Arab kuno yang dikenalkan oleh Avicenna (Ali Ibnu Sina), ahli farmasi berkembangsaan Arab. Istilah “Sirup” diduga berasal dari kara “Sirab” (Bah. Arab), yang artinya adalah sari pati gula. Berikut ini, beberapa definisi tentang sirup: a) Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa penambahan bahan pewangi dan zat obat (Ansel, 1989). b) Sirup adalah sediaan cairan kental mengandung sukrose (gula) tidak kurang dari 50% dan tidak lebih dari 65%, dapat mengandung satu atau lebih bahan obat (Priyambodo, 2007). c) Sirup adalah bentuk sediaan cair yang mengandungSaccharosa atau gula. Konsistensi sirup kental karena kadar Saccharosa yang tinggi, yaitu 64,0-66,0% (Zaman-Joenoes, 2008). d) Sirup adalah sediaan cair berupa larutan yang mengandung sakarosa. Kecuali dinyatakan lain, kadar sakarosa, C12H22O11, tidak kurang dari 64.0% dan tidak lebih dari 66,0%. 2. Penggolongan Sirup Bedasarkan fungsinya, sirup dikelompokan menjadi 2 golongan, yaitu: a. Medicated Syrup (sirop obat) merupakan sirup yang mengandung satu atau lebih bahan obat. Sirup obat berupa preparat yang sudah distandarisasi, dapat diberikan berupa obat tunggal atau dikombinasikan dengan obat lain. Contoh sirup obat antara lain: 1. “Dry Syrup” atau sirup kering, berupa campuran obat dengan sakarosa, harus dilarutkan dalam jumlah air tertentu sebelum dipergunakan. Keuntungan sirup kering dari pada sirup cairan, biasanya sirup kering dapat tahan disimpan lebih lama. Contohnya Ampicillin trihydrate “dry syrup”, ekivalen dengan 25 mg/ml sirup cairan kalau sudah dilarutkan dalam jumlah air yang ditentukan. 2. Flavored Syrup (sirup korigen/pembawa), biasanya tidak digunakan untuk tujuan medis, namun mengandung berbagai bahan aromatis atau rasa yang enak dan digunakan sebagai larutan pembawa atau pemberi rasa pada berbagai sediaan farmasi lainnya, misalnya sebagai penutup rasa pahit pada Vitamin B Kompleks yang diberikan kepada bayi atau anak-anak. Sirup golongan ini, mengandung berbagai bahan tambahan, misalnya bahan antioksidan (antioxidant agent), pengawet (preservative agent), pewarna (coloring agent), pemberi rasa (flavoring agent), dan bahan pelarut (diluting agent). Sirup ini, ditambahkan sebagai korigens rasa untuk obat minum, cukup dalam jumlah 10-20 ml untuk tiap 100 ml larutan obat. Sirup yang sering dipakai sebagai korigens-rasa, yaitu: 3. Sirup Simpleks, mengandung 65% gula dalam larutan nipagin 0,25% b/v. 4. Sirup Aurantii, terutama untuk bahan obat yang rasanya pahit. 5. Sirup Rubi Idaei, terutama untuk bahan obat yang rasanya asam. 6. Formula & Pembuatan Sirup Sebagian besar sirup mengandung komponen-komponen berikut disamping air murni (purified water) dan semua zat-zat obat yang ada:  Gula, biasanya sukrosa atau pengganti gula yang digunakan untuk memberi rasa manis dan kental.  Pengawet antimikroba.  Pembau.  Pewarna. Juga banyak sirup, terutama yang dibuat dalam perdagangan, mengandung pelarut-pelarut khusus, pembantu kelarutan, pengental dan stabilisator. Menurut Farmakope Indonesia edisi III (1979), kecuali dinyatakan lain, sirup dibuat sebagai berikut:  Buat cairan untuk sirup, panaskan, tambahkan gula, jika perlu didihkan hingga larut. Tambahkan air mendidih secukupnya hingga diperoleh bobot yang dikehendaki, buang busa yang terjadi, serkai.  Pada pembuatan sirup dari simplisia yang mengandung glukosida antrakuinon, ditambahkan natrium karbonat sejumlah 10% bobot simplisia.  Kecuali dinyatakan lain, pada pembuatan sirup simplisia untuk persediaan ditambahkan metil paraben 0,25% b/v atau pengawet lain yang cocok. Dalam produksi besar di industri farmasi, pemilihan bahan yang digunakan untuk pembuatan sediaan sirup harus dilakukan dengan hati-hati, termasuk air yang digunakan juga harus memenuhi persyaratan air untuk produk farmasi (purified water). Kebersihan wadah dan alat untuk produksi juga memegang peranan yang sangat penting. Hal lain yang mempengaruhi proses pembuatan sirup adalah karakteristik bahan baku yang digunakan, peralatan, prosedur pencampuran dan pengisian ke dalam wadah. Bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan sediaan sirup harus sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan ditentukan secara cermat. Spesifikasi tersebut harus bisa menjamin ciri-ciri, kemurnian, homogenitas, dan bebas dari kontaminasi mikroba yang berlebihan. Selain bahan aktif, air juga merupakan faktor yang sangat kritis dalam proses pembuatan sediaan sirup, karena merupakan komponen terbesar. Peralatan yang digunakan untuk proses pembuatan sediaan sirup terdiri dari tangki pencampur yang dilengkapi dengan pengaduk berkecepatan tinggi, penyaring, dan pengisi sirup ke dalam wadah (botol). Tangki, umumnya dibuat dari bahan baja anti-karat AISI 316 yang dipoles berlapis dua (double jacket), dimana panas dari uap air (steam boiler) yang digunakan untuk memanaskan sirup dilewatkan diantara kedua dinding tangki. Tangki tersebut bisa ditutup dengan rapat sehingga lebih efektif. Proses pembuatan sediaan sirup dapat dilakukan dengan beberapa metode/cara, tergantung dari bahan yang digunakan, terutama menyangkut sifat-sifat fisik dan kimia dari bahan aktif. Metode pembuatan sirup tersebut antara lain:  Metode pelarutan dengan pemanasan.  Metode pengadukan tanpa pemanasan.  Metode penambahan bahan aktif ke dalam sirup sederhana (Sirup Simpleks atau Flavoring Syrup).  Metode perkolasi. Metode pembuatan sediaan sirup dengan menggunakan pemanasan merupakan metode yang paling umum digunakan, sangat cocok digunakan untuk bahan-bahan yang tidak rusak akibat pemanasan serta apabila dikehendaki proses pembuatan sirup secara cepat. Mula-mula gula (sucrose) dilarutkan di dalam air murni (purified water) yang telah dipanaskan pada suhu 50-700C sambil diaduk hingga larut. Selanjutnya bahan aktif dan bahan pengawet dimasukkan ke dalam larutan gula dan diaduk hingga semua bahan larut sempurna, kemudian didinginkan hingga suhu 300C. Masukkan ke dalam larutan tersebut bahan-bahan tambahan lain (pengental, pewarna dan perasa), aduk hingga homogen. Saring larutan dengan penyaring yang sesuai, selanjutnya sirup tersebut dimasukkan ke dalam wadah. (botol) yang dikehendaki dan dilakukan proses pengemasan. Hal yang sangat penting dalam proses pembuatan sediaan sirop dengan metode ini adalah suhu jangan sampai terlalu tinggi (>700C) karena akan menyebabkan terjadinya inversin gula menjadi gula inert serta karamelisasi gula yang di tandai dengan warna sirup menjadi cokelat. Untuk bahan-bahan yang tidak tahan (rusak) atau menguap apabila dipanaskan, maka dapat digunakan metode pengadukan tanpa pemanasan, penambahan bahan aktif ke dalam sirup sederhana atau metode perkolasi. Pada sirup dengan kadar gula rendah dapat terjadi fermentasi, kadar gula yang tinggi mempunyai tekanan osmotik yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan bakteri dan fungi dapat terhambat. Bila sebagian dari sakarosa berubah menjadi gula invert, maka sirup cepat menjadi rusak. Kerusakan sirup dapat dihindarkan dengan menambahkan suatu bahan pengawet ke dalam sirup, misalnya Nipasol, Nipagin atau Natrium Benzoat. Selain sukrosa dan gula lain, pada sirup dapat ditambahkan senyawa poliol seperti sorbitol dan gliserin untuk menghambat penghabluran dan mengubah kelarutan, rasa dan sifat lain zat pembawa. Umunya juga dalam pembuatan sirup, ditambahkan zat antimikroba untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan fungi. Penetapan kadar sakarosa dalam sirup menurut Farmakope Indonesia edisi III (1979) adalah sebagai berikut: Timbang saksama lebih kurang 25 g sirup dalam labu tentukur 100 ml, tambahkan 50 ml air dan sedikit larutan aluminium hidroksida P. Tambahkan larutan timbal (III) subasetat P tetes demi tetes hingga tetes terakhir tidak menimbulkan kekeruhan. Tambahkan air secukupnya hingga 100 ml, saring, buang 10 ml filtrat pertama. Masukkan 50,0 ml filtrat ke dalam labu tentukur 55 ml, tambahkan campuran 79 bagian volume asam klorida P dan 21 bagian volume air secukupnya hingga 55,0 ml. Panaskan labu dalam tangas air pada suhu antara 680 C dan 700 C selama 10 menit, dinginkan dengan cepat sehingga suhu lebih kurang 200 C. Jika perlu hilangkan warna menggunakan tidak lebih dari 100 mg arang jerap P. Ukur rotasi optik larutan yang belum diinversi menggunakan tabung 22,0 cm pada suhu pengukur yang sama antara 100 C dan 250 C. Penyimpanan sirup menurut anjuran Farmakope Indonesia edisi III (1979), dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk. DAFTAR PUSTAKA Ansel, C,H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Penerjemah Farida Ibrahim; Pendamping Asmanizar, Iis Aisyah. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press); Jakarta. Priyambodo B, 2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama; Yogyakarta. Syamsuni HA, 2006. Ilmu Resep. EGC; Jakarta. Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; Jakarta Zaman-Joenoes N, 2008. Ars Prescribendi Resep yang Rasional. Airlangga University Press; Surabaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suppositoria

Ampul dan Vial

Tetes Mata