Suppositoria


     Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh. (Moh. Anief. 1997)
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. (Farmakope Indonesia Edisi IV)
       Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh. ( Farmakope Indonesia Edisi III)
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. (Formularium Nasional)
       Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang berbentuk torpedo yang biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh penanganan cepat.
 Menurut FI edisi III hal 32
       Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh.
b. Menurut FI edisi IV hal 16
       Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh.
c. Menurut RPS 18 th hal 1609
       Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang memiliki berat dan bentuk yang bervariasi, biasanya penggobatan dilakukan dengan dimasukan dalam rektum, vagina dan uretra. Setelah pemasukan suppositoria akan menjadi lembut atau lunak, melebur dalam cairan pencernaan.
d. Menurut Parrot hal 382
       Suppositoria adalah suatu bentuk unit sediaan yang dimaksudkan untuk dimasukan kedalam rektum, vagina dan uretra. Suppositoria melebur, melunak, dan melarut dalam suhu tubuh.
e. Menurut R.Voight hal 281
       Suppositoria adalah sediaan bentuk silindris atau kerucut berdosis dan berbentuk mantap yang ditetapkan untuk dimasukan kedalam rektum, sediaan ini melebur pada suhu tubuh atau larut dalam lingkungan berair.
f. Menurut FN hal 333
       Suppositorium adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan kedalam rektum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaan, umumnya berbentuk terpedo.
g. Menurut Ilmu Meracik Obat hal 158
       Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur berbentuk terpedo, dapat melunak, melarut, atau meleleh pada suhu tubuh.
h. Menurut Ansel hal 576
      Suppositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaianya dengaan cara memasukkan kedalam lubang atau celah dalam tubuh dimana ia akan melebur, melunak atau larut dan memberikan efek lokal atau sistemik.
i. Menurut Lachman hal 1147
        Suppositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang umumnya dimaksudkan untuk dimasukan kedalam rektum, vagina, dan jarang digunakan untuk uretra. Suppositoria rektal dan urektal biasanya menggunakan pembawa yang meleleh, atau melunak pada temperatur tubuh, sedangkan suppositoria vaginal kadang-kadang disebut pessaries, juga dibuat dengan tablet kompressi yang hancur dalam cairan tubuh.
j. Menurut Dom Hoover hal 163
       Suppositoria adalah sediaan obat padat dengan berbagai ukuran dan bentuk yang penggunaanya dengan diselipkan kedalam bagian tubuh biasanya melalui rektum, vagina atau uretra.
k. Menurut Dom Marthin hal 834
       Suppositoria adalah sediaan padat yang diberikan melalui bagian tubuh yakni vagina, rektum, atau uretra.
2.2 Macam-macam Suppositoria
a. Suppositoria untuk rectum (rectal)
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2005).
b. Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya oleum cacao.
c. Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya rampiung seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masihbervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya ± 4 g. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
d. Suppositoria untuk hidung dan telinga
Suppositoia untuk hidung dan telinga yang disebut juga kerucut telinga, keduanya berbentuk sama dengan suppositoria saluran urin hanya ukuran panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm. Suppositoria telinga umumnya diolah dengan suatu basis gelatin yang mengandung gliserin. Seperti dinyatakan sebelumnya, suppositoria untuk obat hidung dan telinga sekarang jarang digunakan.
2.3 Tujuan Penggunaan Supositoria
1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membrane mukosa dalam rectum. Hal ini dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral tidak memungkinkan seperti pada pasien yang mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam sirkulasi pembuluh darah.
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati (Syamsuni, 2005).
2.4 Keuntungan dan Kerugian Supositoria
2.4.1 Keuntungan Supositoria:
a. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
b. Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung.
c. Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat berefek lebih
    cepat daripada penggunaan obat peroral.
d. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
2.4.2 Kerugian Supositoria:
a. Pemakaiannya tidak menyenangkan.
b. Tidak dapat disimpan pada suhu ruang.
2.4.3 Persyaratan Supositoria
Sediaan supositoria memiliki persyaratan sebagai berikut:
1. Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau melarut
    (persyaratan kerja obat).
2. Pembebasan dan responsi obat yang baik.
3. Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan,
    penegerasan, kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang memadai
    dari bahan obat).
4. Daya serap terhadap cairan  lipofil dan hidrofil.
2.5 Basis supositoria
        Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur, melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan peranan penting. Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu padat dalam suhu ruangan dan akan melebur maupun melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan didispersikan merata kemudian menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik. Basis supositoria yang ideal juga harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut:
1. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
2. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
3. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau serta pemisahan obat.
4. Kadar air mencukupi.
5. Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan harus diketahui jelas.
2.5.1 Persayaratan Basis Suppositoria
1. Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataupun tengik, terlalu keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik).
2. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat).
3. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil).
4.   Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat berlangsung cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah pendinginan mendaak dalam cetakan).
5.    Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini dikarenakan  untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya pada suhu tinggi sehingga tetap stabil).
2.5.2 Macam-macam Basis Suppositoria
1.    Basis berlemak, contohnya: oleum cacao.
2.    Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak: campuran tween dengan gliserin laurat.
3.  Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya: gliserin-gelatin, PEG (polietien glikol).
2.5.3 Bahan Dasar Supositoria
1. Bahan dasar berlemak: oleum cacao
     Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki bau yang khas dan bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk krital). Jika dipanaskan pada suhu sektiras 30°C akan mulai mencair dan biasanya meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C berupa massa semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencair sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti kristal menstabil.
keuntungan oleum cacao:
a. Dapat melebur pada suhu tubuh.
b. Dapat memadat pada suhu kamar.
Ø Kerugian oleum cacao:
a. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
b. Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila ditambahkan dengan bahan tertentu.
c. Meleleh pada udara yang panas.
2. PEG (Polietilenglikol)
     PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara 300-6000. Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax 1000), PEG 1500 (carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG di bawah 1000 berbentuk cair, sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak seperti malam. Formula PEG yang dipakai sebagai berikut:
1. Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%).
2. Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%.
Titik lebur PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi larut dalam cairan
sekresi tubuh.
Ø Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Tidak mengiritasi atau merangsang.
2. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum cacao.
3. Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh.
Ø Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga timbul rasa yang
  menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam air  
  dahulu sebelum digunakan.
2. Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan obat.
        Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan dasar, lalu   dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan supositoria dengan bahan dasar lemak coklat.
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Absobsi Obat per Rektal
Rektum mengandung sedikit cairan dengan PH 7,2 dan kapasitas dapar rendah. Epitel rektum sifatnya berlipoid (berlemak) maka diutamakan permeabel terhadap obat yang tidak terionisasi (obat yang mudah larut lemak).
2.7  Nilai Tukar
      Nilai tukar adalah nilai yang digunakan untuk mengurangi kadarzat aktif. Tujuan dari pengurangan zat aktif adalah meminimalisir over dosis yang ditimbulkan. Karena zat aktif yang tertera pada literature merupakan kadar zat aktif yang digunakan secara oral, maka pada penggunaan untuk rectal kadar zat aktif harus dikurangi. Hal ini berkaitan dengan proses farmakokinetik di dalam tubuh. Untuk obat-obat oral prosesnya melalui ADME sedangkan untuk obat-obat lokal (suppo) prosesnya tidak melalui ADME melainkan langsung diserap oleh permukaan mukosa rectal, kemudian masuk ke pembuluh darah selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah. Oleh karena itu, jika zat aktif masih menggunakan dosis oral, maka dikhawatirkan terjadi over dosis pada pasien.
Pada pembuatan supositoria menggunakan cetakan, volume supositoria harus tetap. Tetapi, bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan bobot jenis yang dapat diabaikan, misalnya ekstrak belladonea dan garam alkaloid.
Nilai tukar dimaksudkan untuk mengetahui bobot minyak cokelat yang mempunyai volume yang sama dengan 1g obat. 
2.8 Uji Bahan Aktif
1. Titik lebur
Titik lebur adalah suhu di mana zat yang kita uji pertama kali melebur atau meleleh seluruhnya yang ditunjukan pada saat fase padat cepat hilang. Dalam analisa farmasi titik lebur untuk menetapkan karakteristik senyawa dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji titik lebur di butuhkan alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point Apparatus (MPA) alat ini digunakan untuk melihat atau mengukur besarnya titik lebur suatu zat.
2. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan bobot jenis udara pada suhu 25  terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot jenis dengan bobot air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain dalam monografi keduanya ditetapkan pada suhu 25 . (FI IV hal 1302). Bobot jenis dapat digunakan untuk:
§ Mengetahui kepekaan suatu zat
§ Mengetahui kemurniaan suatu zat
§ Mengetahui jenis zat
Piknometer untuk menentukan bobot jenis zat padat dan zat cair. Zat padat berbeda dengan zat cair, zat padat memiliki pori dan rongga sehingga berat jenis tidak dapat terdefinisi dengan jelas. Berat jenis sejati merupakan berat jenis yang dihitung tanpa pori atau rongga ruang. Sedangkan berat jenis nyata merupakan berat jenis yang di hitung sekaligus degan porinya sehingga   nyata <   sejati.
2.9  Metode Pembuatan
Pembuatan supositoria secara umum yaitu bahan dasar supositoria yang digunakan dipilih agar meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut dalam bahan dasar, jika perlu dipanaskan. Jika obat sukar larut dalam bahan dasar, harus dibuat serbuk halus. setelah campuran obat dan bahan dasar meleleh atau mencair, tuangkan ke dalam cetakan supositoria kemudian didinginkan. Tujuan dibuat serbuk halus untuk membantu homogenitas zat aktif dengan bahan dasar.
Cetakan suppositoria terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau logam lainnya, namun ada juga yang terbuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan supositoria. Untuk mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan, supositoria harus dibuat berlebih (±10%), dan sebelum digunakan cetakan harus dibasahi lebih dahulu dengan parafin cair atau minyak lemak, atau spiritus sapotanus (Soft Soap Liniment) agar sediaan tidak melekat pada cetakan. Namun, spiritus sapotanus tidak boleh digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam karena akan bereaksi dengan sabunnya dan sebagai pengganti digunakan oleum recini dalam etanol. Khusus supositoria dengan bahan dasar PEG dan Tween bahan pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan dasar tersebut dapat mengerut sehingga mudah dilepas dari cetakan pada proses pendinginan.
Metode pembuatan supositoria dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Dengan tangan
Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahan-bahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan.
b. Dengan mencetak kompresi
Hal ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin menjadi suatu bentuk yang dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu piston pada massa suppositoria yang diisikan dalam silinder, sehingga massa terdorong kedalam cetakan.
c.  Dengan mencetak tuang
Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas air atau penangas uap untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian bahan-bahan aktif diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya massa dituang kedalam cetakan logam yang telah didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau nikel. 
2.10 Pengemasan Supositoria
a.  Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin umumnya dikemas dalam wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan kelembapan dalam isi supositoria.
b.  Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lain pada celah-celah dalam kotak untuk mencegah perekatan.
c.  Supositoria dengan kandungan obat yang sedikit lebih pekat biasnya dibungkus satu per satu dalam bahan tidak tembus cahaya seperti lembaran metal (alumunium foil).
2.11Evaluasi Sediaan
Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut:
1. Uji homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan aktif dapat tercampur rata dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika tidak dapat tercampur maka akan mempengaruhi proses absorbsi dalam tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara menguji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop, cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
2. Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak seperti sediaan suppositoria pada umunya, maka seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa sediaan tersebut bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan memberikan keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain itu, suppositoria merupakan sediaan padat yang mempunyai bentuk torpedo.
3. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama sediaan tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu hancurnya ±15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi syarat diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk digunakan dalam tubuh. Mengapa menggunakan media air? Dikarenakan sebagian besar tubuh manusia mengandung cairan.
4. Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah sama atau belum, jika belum maka perlu dicatat. Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap kemurnian suatu sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya dengan ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian dihitung berat rata-ratanya. Dari hasil penetapan kadar, yang diperoleh dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dari masing-masing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen. Jika terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut tidak memenuhi syarat dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan dapat memberikan efek terapi yang sama pula.
5. Uji titik lebur
Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan sediaan supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh. Dilakukan dengan cara menyiapkan air dengan suhu ±37°C. Kemudian dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati waktu leburnya. Untuk basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3 menit, sedangkan untuk PEG 1000 adalah 15 menit.
6. Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras yang menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas. Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
7. Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan parameter untuk untuk menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Volume distribusi ini hanyalah perhitungan volume sementara yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.
2.14 Cara pemberian
Pemberian obat dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria
Petunjuk pemakaian: cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria, kemudian tidur dengan posisi miring. Supositoria dimasukkan ke rektum dengan cara bagian ujung supositoria didorong dengan ujung jari,  kira-kira ½-1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan demam satu supositoria diberikan setiap 4–6 jam jika diperlukan. Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian supositoria.
Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika tertelan atau terjadi over dosis segera hubungi dokter
Ovulae / Ovula
     Ovula adalah sediaan padat , umumnya berbentuk telur mudah melemah  (melembek) dan meleleh pada suhu tubuh, dapat melarut dan digunakan sebagai obat luar khusus untuk vagina. Sebagai bahan dasar ovula harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh.
  Sebagai bahan dasar dapat digunakan lemak coklat atau campuran PEG dalam berbagai perbandingan.  Bobot ovula adalah 3 - 6 gram, umumnya 5 gram. Ovula disimpan dalam wadah tertutup baik dan ditempat yang sejuk.
   Menurut FI IV, supositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau dapat bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin tergliserinasi memiliki bobot 5 g. Supositoria dengan bahan dasar gelatin tergliserinasi ( 70 bagian gliserin, 20 bagian gelatin dan 10 bagian air) harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada suhu di bawah 35°C.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Howard C.2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi keempat. Universitas Indonesia;   Jakarta
Moh. Anief. 2007. FARMASETIKA. Gadjah Mada University Press; Jakarta.
Dirjen POM . 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Departemen Kesehatan  RI; Jakarta.
Syamsuni. 2007. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran; Jakarta.
Ansel, Howard C 1989. Terjemahan Buku Teknologi Farmasi Edisi IV. UI Press; Jakarta.
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Gadjah Mada University Press;  Yogyakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ampul dan Vial

Tetes Mata